Review Ratu Ratu Queens The Series Netflix: Kisah Persahabatan, Perjuangan, dan Harapan di Negeri Orang



“Ratu Ratu Queens: The Series” Netflix memperlihatkan sisi lain dari fakta tentang hidup di negeri orang yang terkadang terlihat glamor dan menyenangkan. Di sini sisi itu dikupas lebih dalam dan jujur. Melalui Party (Nirina Zubir), Chinta (Happy Salma), Ance (Tika Panggabean), dan Biyah (Asri Welas), kita semua dibawa untuk melihat realita betapa sulitnya hidup jauh dari rumah dan keluarga.
 
Tapi series ini juga mengajarkan, kerasnya kehidupan tidak boleh mengikis semangat, cinta, dan impian yang kita punya.
 
“Ratu Ratu Queens: The Series” yang baru tayang di Netflix 12 September 2025 kemarin ini, sukses menyoroti hal itu dengan cara yang hangat, lucu, sekaligus getir.
 
Series ini juga merupakan prekuel dari film Netlfix berjudul “Ali & Ratu Ratu Queens (2021)”. Ya, karena aku juga suka sama filmnya, aku pun semangat nonton series ini kemarin.


Sinopsis


 
Judul: Ratu Ratu Queens: The Series
Jumlah episode: 6 (37–51 menit per episode)
Rilis: 12 September 2025
Platform: Netflix
Sutradara: Lucky Kuswandi
Penulis: Andri Cung
Produksi: Palari Films
Setting waktu: Sekitar 8 tahun sebelum film Ali & Ratu Ratu Queens  

Serial ini mengisahkan empat perempuan imigran asal Indonesia yang menetap di Queens, New York:
 
Ada Party, yang baik banget, suka nggak enakan, punya mimpi dan semangat hidup tinggi, meski masalah datang bertubi-tubi.
 
Ance, yang paling keras kepala, terbiasa menyimpan lukanya sendiri karena harus jadi single mom yang super kuat, tapi sebenarnya hatinya paling hangat.
 
Chinta, yang sedang patah hati karena pernikahannya tiba-tiba kandas dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Karena selama ini hidup bergantung dengan ekspektasi orang lain. Ia berusaha bertahan untuk menemukan jati diri dan tujuan hidupnya kembali.
 
Biyah, sosok wanita yang penuh mimpi, mendambakan hidup bebas namun harus tersadarkan oleh dunia nyata yang keras, bahwa arti kebebasan bukan hidup seenaknya, melainkan berani menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.
 
Setting series ini mundur ke tahun 2000-an, mengisahkan bagaimana mereka pertama kali menginjakkan kaki di Queens, New York. Dengan segala mimpi dan ketakutan yang mereka bawa, kita akan melihat bagaimana Chinta, yang bimbang dan penuh luka, bertemu dengan Party yang ceria dan penuh semangat. Tak lama, mereka bertemu Ance dan Biyah yang sama-sama berjuang di negeri orang.
 
Mereka datang dengan latar belakang berbeda, tapi akhirnya membentuk semacam keluarga. Dari bekerja serabutan, menghadapi masalah utang, dokumen imigrasi yang rumit, sampai kehilangan orang tersayang, semuanya jadi bagian dari cerita.
 
Konflik mereka bukan melulu soal “drama tragis”, tapi hal-hal realistis yang sering dialami para pekerja migran, seperti dikejar tagihan, homesick, sampai harus pura-pura tegar padahal rapuh di dalam.
 
 
Review Ratu Ratu Queens The Series: Kisah Persahabatan, Perjuangan, dan Harapan di Negeri Orang



Yang paling aku suka dari series ini adalah kejujuran dalam penceritaannya. Tidak ada usaha untuk memoles kehidupan imigran biar tampak indah. Sebaliknya, kita diajak melihat sisi pahitnya, tapi tetap dengan sentuhan humor dan kehangatan khas orang Indonesia.
 
Ada banyak momen kecil yang bikin aku merasa dekat dengan karakter-karakternya. Misalnya, saat saling berbagi makanan Indonesia buat ngobatin kangen, hingga mencoba hidup rukun di tengah apartemen sempit. Rasanya kayak reminder kalau “rumah” bukan soal tempat, tapi orang-orang yang ada di sekitar kita.
 
Dari segi akting, para pemerannya tampil natural, jauh dari kesan dibuat-buat. Chemistry antar “Ratu Ratu” juga terasa hidup, bikin aku percaya kalau mereka benar-benar satu geng yang saling menopang.
 
Soal teknis, sinematografi New York ditampilkan apa adanya. Jalanan Queens yang kumuh, apartemen sempit bahkan toko kecil. Jadi jangan bayangkan gedung pencakar langit dan Central Park. Justru ini yang bikin series terasa grounded.
 
“Ratu Ratu Queens: The Series” bukan cuma ceritanya, tapi makna-makna kecil yang muncul di balik adegan sederhana. Rasanya kayak lagi duduk bareng sahabat, ngobrol jujur soal hidup, pahit-manisnya, dan gimana kita tetap bisa jalan terus.
 
Aku juga suka gimana series ini memperlihatkan humor sebagai senjata bertahan. Banyak adegan bikin ketawa bukan karena hidup mereka mudah, tapi karena itu satu-satunya cara biar nggak hancur. Dan jujur, itu terasa sangat manusiawi.
 
Akhirnya, buatku makna terbesar dari series ini ada di harapan kecil yang terus dipelihara. Mungkin mereka nggak bisa menggapai mimpi setinggi langit, tapi tetap ada alasan buat bangkit setiap pagi, demi anak, demi keluarga di rumah, atau sekadar demi diri sendiri.
 
Bisa nggak nonton seriesnya, tapi belum nonton “Ali & Ratu Ratu Queens”? Bisa banget. Karena series ini adalah prekuel, setting waktunya terjadi 8 tahun sebelum film. Selain itu ada beberapa benang merah yang menghubungkan keduanya dan cukup kasih nostalgia. Bahkan karakter-karakternya juga konsisten, seperti Biyah yang di film dijelaskan nggak boleh dikasih pegang uang, di sini dikupas tuntas tuh alasannya. Dan karakter Party yang bisa dengan gampang menerima Ali, juga diperlihatkan alasannya di sini.
 
 
Jadi, setelah nonton “Ratu Ratu Queens: The Series”, aku merasa diingatkan lagi, bahwa hidup nggak harus sempurna biar bisa dijalani. Kadang cukup punya orang-orang yang mau ketawa dan nangis bareng kita, itu sudah lebih dari cukup. Buatku, series ini berhasil menangkap esensi “berjuang di negeri orang” tanpa drama berlebihan. Hangat, getir, tapi jujur sekaligus menghibur.


2 comments:

  1. kalo nonton series ini terasa banget memang perjuangan di negeri orang, bertahan hidup dengan segala kerasnya pekerja'an, itu susah banget kalo gak ada tekad dan harapan :)

    ReplyDelete
  2. Bener banget. Kemarin nonton ini waktu lagi burnout terus jadi semangat lagi deh...

    ReplyDelete

Apa pendapatmu tentang artikel di atas? Jangan lupa tinggalkan jejak!