Kadang aku nggak tahu harus mulai dari mana. Jadi aku ambil pensil, duduk diam, dan biarkan tangan jalan duluan. Kadang hasilnya aneh, kadang malah jujur banget (jelek maksudnya). Tapi Setiap garis rasanya kayak percakapan kecil antara aku dan sesuatu di dalam kepala yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata.


Ini bukan tentang hasil arsiran pensilku yang nggak rapi, jelek atau bahkan berantakan. Tapi tentang apa yang keluar waktu aku berhenti berpikir terlalu keras. Tentang… bagaimana aku mengambil satu per satu benang kusut yang ada di dalam kepala dan menuangkannya ke atas kertas.


Jadi maklumin ya, kalau hasilnya ala kadarnya.



Sebenarnya aku berhenti menggambar cukup lamaaaa banget. Selalu berlindung di balik kata ‘sibuk’. Dan ya, bener banget. Punya skill kalau nggak pernah dilatih bakal jadi omong kosong. Aku harus mulai belajar dari awal lagi kini. Tapi nggak apa-apa, semangat dulu aja.



Dari dulu, entah kenapa aku paling kesulitan menggambar cewek. Nggak tahu kenapa, nggak bisa aja.



Aku lebih sering mengalihkan stress dengan menggambar, tapi waktu hasilnya nggak sesuai harapan, malah tambah stress. Haha…




Oke cuma segitu doang hasilnya yang aku kumpulin selama sebulan belakangan.


Kisah sisifus manusia yang menipu dewa, merupakan sebuah legenda kuno yang berasal dari mitologi Yunani. Sisifus ini sendiri merupakan seorang raja yang dikenal licik dan suka menipu. Bahkan dia berhasil mengelabui beberapa dewa seperti Hades dan Thanatos (dewa kematian).


Hingga akhirnya ia dihukum oleh dewa Zeus untuk mendorong sebuah batu besar ke atas bukit, hanya untuk menggelindingkannya kembali ke bawah. Dan Sisifus harus mulai mendorong batu kembali ke puncak, terus menerus, berlangsung hingga selamanya.


Kisah ini banyak dibahas dalam filsafat modern, salah satunya oleh Albert Camus dalam esainya “The Myth of Sisyphus”. Camus menggambarkan Sisifus sebagai simbol absurditas hidup manusia.


Aku sendiri pertama kali membaca legenda ini dalam buku “Supernova: Akar” karya dee atau Dewi Lestari, yang mana kisah Sisifus disinggung oleh karakter utama dalam buku ini, untuk menggambarkan hidupnya. Dia percaya, kalau dia hadir di dunia cuma untuk disiksa sampai hampir mati, lalu dikembalikan hidup lagi. Begitu terus. 


(punya dua versi, pertama beli waktu SMP sekitar 10 tahun lalu, kedua beli pas udah punya uang sendiri buat beli versi lengkapnya)

Sedangkan kalau kamu, pecinta K-drama. Mungkin kamu juga nggak asing atau bahkan pernah menonton “Sisyphus: The Myth”, yang diperankan oleh Park Shin Hye. Barangkali series ini juga terinspirasi dari Kisah Sisifus. Tapi aku sendiri belum pernah nonton sih.



Kisah Sisifus dan Asal-usulnya



Sisifus adalah pendiri sekaligus raja pertama Ephyra (yang sekarang lebih dikenal sebagai Korintus). Ia digambarkan sebagai seseorang yang cerdas, bahkan memiliki kepintaran di atas rata-rata. Sebagai penguasa, saat itu sisifus mampu membangun kerajaannya dan membawa masyarakatnya hidup makmur. Namun meski dikenal cerdas, Sisifus ini juga merupakan sosok yang licik dan kurang bijaksana. Karena ia seringkali menyalahgunakan kekuasaannya. Salah satunya adalah melanggar hukum Xenia yang sakral (menghormati tamu). Dia bahkan tidak segan membunuh musafir atau tamu kehormatan Ephyra hanya untuk memamerkan kekuatannya.


Sisifus sendiri merupakan keturunan dari Aeolus, sang dewa angin. Sedangkan ibunya adalah Enarete (kadang disebut Enarete atau Enarea). Merupakan demigod, putri Deimachus dari Thessalia.


Pertama Kali Menipu Dewa


Diceritakan, Sisifus menyaksikan secara langsung penculikan Aegina yang dilakukan oleh Zeus, yang mengubah dirinya menjadi menjadi elang. Melihat hal itu, Sisifus langsung punya ide cemerlang, untuk memanfaatkan situasi tersebut. Dengan cara mendatangi Asopos (dewa sungai sekaligus ayah Aegina), dan mengatakan ia akan memberitahu siapa yang sudah menculik Aegina. Namun dengan imbalan mata air untuk kerajaannya yang saat itu sedang dilanda kekeringan.


Hal ini tentu membuat Zeus marah besar karena Sisifus sudah membongkar rahasiannya. Sehingga ia memerintahkan Thanatos (personifikasi kematian) untuk segera mencari Sisifus dan mengambil nyawanya.


Mengikat Thanatos


Ketika Sisifus didatangi oleh Thanatos, ia kembali mampu menipu dewa itu dengan mudah. Ia berpura-pura kagum dengan Thanatos dan penasaran dengan rantai yang dibawanya. Namun Sisifus justru berhasil menggunakan rantai itu untuk membelenggu Thanatos selama beberapa waktu.


Akibatnya tidak ada kematian di dunia. Perang berlangsung tanpa korban, manusia tidak meninggal dan perang terasa sia-sia.


Ares (dewa perang) marah karena peperangan jadi tidak ada artinya, maka ia turun tangan, membebaskan Thanatos, dan menyerahkan Sisifus ke Hades.


Melarikan Diri dari Dunia Bawah


Setelah tertangkap dan dibawa ke dunia bawah, Sisifus tidak habis akal karena kali ini ia bahkan mampu mengelabui Persephone (ratu dunia bawah). Dengan berkata bahwa Merope, istrinya tidak mengadakan ritual pemakaman dan itu membuat Sisifus sedih. Dengan licik, ia memohon izin agar bisa kembali ke dunia orang hidup untuk menegur istrinya. Persephone yang luluh dengan bujuk rayu Sisifus akhirnya mengizinkannya naik kembali.


Masalahnya, begitu sampai di dunia atas, Sisifus kabur bersama istrinya dan tidak pernah kembali lagi ke Hades. Ia hidup panjang, menikmati waktunya, sampai akhirnya benar-benar mati karena usianya habis.


Hukuman Abadi


Setelah berhasil mengelabui dewa berkali-kali, akhirnya Sisifus sudah tidak bisa menghindar. Ketika waktunya sudah tiba, ia akhirnya menerima hukuman abadi dari Zeus.


Sisifus harus mendorong batu besar ke atas bukit. Namun setiap kali hampir mencapai puncak, batu itu terguling kembali ke bawah, dan Sisifus harus mengulanginya selamanya.


Hukuman ini melambangkan:

kesia-siaan melawan takdir,

konsekuensi dari kesombongan manusia yang menantang dewa,

kerja tanpa tujuan yang tidak pernah selesai.



Albert Camus Menggambarkan Sisifus sebagai Absurditas Hidup



Dalam esainya “The Myth of Sisyphus (1942)”, Camus menjadikan Sisifus lambang hidup manusia modern. Hidup itu absurd: kita berusaha keras mencari makna, tapi dunia tidak memberi jawaban pasti. Seperti Sisifus yang mendorong batu sia-sia, manusia juga terus mengulang rutinitas yang tampak tidak berarti.


Tapi Camus bilang: kuncinya adalah kesadaran. Sisifus tahu nasibnya, tapi tetap mendorong batu. Di situ ada kebebasan.


Kalimat terkenal Camus: “One must imagine Sisyphus happy”, manusia bisa menerima absurditas hidup, lalu memilih untuk terus hidup dengan sikap pemberontakan (revolt).


Eksistensialisme

  • Sisifus melambangkan perjuangan individu menghadapi absurditas dan kehampaan.
  • Hukuman itu menggambarkan kondisi eksistensial: manusia bebas memilih, tapi juga terjebak dalam keterbatasan dunia.
  • Sisifus bisa dilihat sebagai cerminan kebebasan untuk memberi arti pada penderitaan.


Pandangan Moral Yunani Kuno

  • Bagi orang Yunani, Sisifus contoh hubris (kesombongan melawan dewa). Hukuman abadi adalah pelajaran bahwa manusia tidak boleh melampaui batas.
  • Simbol konsekuensi dosa: kelicikan, keserakahan, dan menipu dewa akan berakhir dengan penderitaan tak berujung.


Psikologi dan Modernitas

  • Bisa ditafsirkan sebagai simbol rutinitas kerja modern: bangun, kerja, tidur, ulang lagi tanpa akhir.
  • Dalam psikologi eksistensial, ia dipakai untuk membicarakan burnout, makna hidup, dan siklus penderitaan yang tetap harus dijalani.


Jadi tergantung perspektifnya:

  • Bagi Yunani kuno kisah ini merupakan pelajaran moral.
  • Bagi Camus, Sisifus adalah simbol absurditas dan pemberontakan.
  • Dan bagi kita sekarang, mitologi ini menjadi metafora hidup sehari-hari yang penuh kerja berulang dan pertanyaan tentang makna.


Itu pula yang aku rasakan sekarang. Menjalani hidup setiap hari, berulang dan hampir selalu sama. Membosankan. Tapi harus dilakukan. Sesederhana, malas cuma buat makan karena pasti ya, gitu gitu doang. Sampai aku pernah berpikir… coba di dunia ini ada teknologi pil makanan. Jadi cukup ambil satu pil, diemut dan kenyang seharian.



Jadi apa yang bisa kamu ambil dari kisah Sisifus ini? Coba kasih tahu aku dan diskusi bareng-bareng.



“Ratu Ratu Queens: The Series” Netflix memperlihatkan sisi lain dari fakta tentang hidup di negeri orang yang terkadang terlihat glamor dan menyenangkan. Di sini sisi itu dikupas lebih dalam dan jujur. Melalui Party (Nirina Zubir), Chinta (Happy Salma), Ance (Tika Panggabean), dan Biyah (Asri Welas), kita semua dibawa untuk melihat realita betapa sulitnya hidup jauh dari rumah dan keluarga.
 
Tapi series ini juga mengajarkan, kerasnya kehidupan tidak boleh mengikis semangat, cinta, dan impian yang kita punya.
 
“Ratu Ratu Queens: The Series” yang baru tayang di Netflix 12 September 2025 kemarin ini, sukses menyoroti hal itu dengan cara yang hangat, lucu, sekaligus getir.
 
Series ini juga merupakan prekuel dari film Netlfix berjudul “Ali & Ratu Ratu Queens (2021)”. Ya, karena aku juga suka sama filmnya, aku pun semangat nonton series ini kemarin.


Sinopsis


 
Judul: Ratu Ratu Queens: The Series
Jumlah episode: 6 (37–51 menit per episode)
Rilis: 12 September 2025
Platform: Netflix
Sutradara: Lucky Kuswandi
Penulis: Andri Cung
Produksi: Palari Films
Setting waktu: Sekitar 8 tahun sebelum film Ali & Ratu Ratu Queens  

Serial ini mengisahkan empat perempuan imigran asal Indonesia yang menetap di Queens, New York:
 
Ada Party, yang baik banget, suka nggak enakan, punya mimpi dan semangat hidup tinggi, meski masalah datang bertubi-tubi.
 
Ance, yang paling keras kepala, terbiasa menyimpan lukanya sendiri karena harus jadi single mom yang super kuat, tapi sebenarnya hatinya paling hangat.
 
Chinta, yang sedang patah hati karena pernikahannya tiba-tiba kandas dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Karena selama ini hidup bergantung dengan ekspektasi orang lain. Ia berusaha bertahan untuk menemukan jati diri dan tujuan hidupnya kembali.
 
Biyah, sosok wanita yang penuh mimpi, mendambakan hidup bebas namun harus tersadarkan oleh dunia nyata yang keras, bahwa arti kebebasan bukan hidup seenaknya, melainkan berani menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.
 
Setting series ini mundur ke tahun 2000-an, mengisahkan bagaimana mereka pertama kali menginjakkan kaki di Queens, New York. Dengan segala mimpi dan ketakutan yang mereka bawa, kita akan melihat bagaimana Chinta, yang bimbang dan penuh luka, bertemu dengan Party yang ceria dan penuh semangat. Tak lama, mereka bertemu Ance dan Biyah yang sama-sama berjuang di negeri orang.
 
Mereka datang dengan latar belakang berbeda, tapi akhirnya membentuk semacam keluarga. Dari bekerja serabutan, menghadapi masalah utang, dokumen imigrasi yang rumit, sampai kehilangan orang tersayang, semuanya jadi bagian dari cerita.
 
Konflik mereka bukan melulu soal “drama tragis”, tapi hal-hal realistis yang sering dialami para pekerja migran, seperti dikejar tagihan, homesick, sampai harus pura-pura tegar padahal rapuh di dalam.
 
 
Review Ratu Ratu Queens The Series: Kisah Persahabatan, Perjuangan, dan Harapan di Negeri Orang



Yang paling aku suka dari series ini adalah kejujuran dalam penceritaannya. Tidak ada usaha untuk memoles kehidupan imigran biar tampak indah. Sebaliknya, kita diajak melihat sisi pahitnya, tapi tetap dengan sentuhan humor dan kehangatan khas orang Indonesia.
 
Ada banyak momen kecil yang bikin aku merasa dekat dengan karakter-karakternya. Misalnya, saat saling berbagi makanan Indonesia buat ngobatin kangen, hingga mencoba hidup rukun di tengah apartemen sempit. Rasanya kayak reminder kalau “rumah” bukan soal tempat, tapi orang-orang yang ada di sekitar kita.
 
Dari segi akting, para pemerannya tampil natural, jauh dari kesan dibuat-buat. Chemistry antar “Ratu Ratu” juga terasa hidup, bikin aku percaya kalau mereka benar-benar satu geng yang saling menopang.
 
Soal teknis, sinematografi New York ditampilkan apa adanya. Jalanan Queens yang kumuh, apartemen sempit bahkan toko kecil. Jadi jangan bayangkan gedung pencakar langit dan Central Park. Justru ini yang bikin series terasa grounded.
 
“Ratu Ratu Queens: The Series” bukan cuma ceritanya, tapi makna-makna kecil yang muncul di balik adegan sederhana. Rasanya kayak lagi duduk bareng sahabat, ngobrol jujur soal hidup, pahit-manisnya, dan gimana kita tetap bisa jalan terus.
 
Aku juga suka gimana series ini memperlihatkan humor sebagai senjata bertahan. Banyak adegan bikin ketawa bukan karena hidup mereka mudah, tapi karena itu satu-satunya cara biar nggak hancur. Dan jujur, itu terasa sangat manusiawi.
 
Akhirnya, buatku makna terbesar dari series ini ada di harapan kecil yang terus dipelihara. Mungkin mereka nggak bisa menggapai mimpi setinggi langit, tapi tetap ada alasan buat bangkit setiap pagi, demi anak, demi keluarga di rumah, atau sekadar demi diri sendiri.
 
Bisa nggak nonton seriesnya, tapi belum nonton “Ali & Ratu Ratu Queens”? Bisa banget. Karena series ini adalah prekuel, setting waktunya terjadi 8 tahun sebelum film. Selain itu ada beberapa benang merah yang menghubungkan keduanya dan cukup kasih nostalgia. Bahkan karakter-karakternya juga konsisten, seperti Biyah yang di film dijelaskan nggak boleh dikasih pegang uang, di sini dikupas tuntas tuh alasannya. Dan karakter Party yang bisa dengan gampang menerima Ali, juga diperlihatkan alasannya di sini.
 
 
Jadi, setelah nonton “Ratu Ratu Queens: The Series”, aku merasa diingatkan lagi, bahwa hidup nggak harus sempurna biar bisa dijalani. Kadang cukup punya orang-orang yang mau ketawa dan nangis bareng kita, itu sudah lebih dari cukup. Buatku, series ini berhasil menangkap esensi “berjuang di negeri orang” tanpa drama berlebihan. Hangat, getir, tapi jujur sekaligus menghibur.



Setelah sekian lama... akhirnya aku nulis di blog ini lagi. Setelah kemarin sempat berkirim chat sama temen lama, dan tahu dia masih aktif ngeblog. Aku kok, jadi ingat blog yang sudah berdebu ini. Pftt... hoek hoek.


Bukan lupa...


Aku masih ingat. Hanya saja kadang bingung mau nulis apa. Apa yang mau dibagikan. Sedangkan hidupku nggak menarik blas.


Nah, karena aku masih bingung buat nulis apa. Maka sekembalinya aku ke blog ini lagi, aku menyapa bersama bos bos kecil di rumah.

 

Tiga Pasukan Bulu


Jeno, Ucil dan Winter

Sekarang aku punya tiga kucing di rumah. Dua, berusia hampir tiga tahun yang aku adopt dari salah satu kenalan. Dan yang satunya berusia 3 bulan (mungkin).


Mereka tidak hanya bos kecil yang menguasai rumah tapi juga temanku. Teman main, teman curhat, teman berantem, teman yang suka ngrecokin waktu bersih-bersih rumah.


Oke aku ajak kenalan dulu sama mereka ya.



Jeno – Si Pemalu dan Paling Ramah


 


Nama panggilannya Nyonyo.


Aku nggak tahu dia ini jenis kucing apa. Dan jangan tanya juga... karena aku nggak ngerti, nggak tahu jenis-jenis kucing dan biasanya nggak begitu peduli.


Jeno aku adopt dari kenalanku... terdorong adopsi kucing waktu itu sebagai pengalihan dari rasa sedih sebenarnya. Aku sengaja memilih mengadopsi bukan membeli. Kebetulan kenalanku ini memang punya banyak kucing, di rumahnya sudah ada 19 katanya dan induknya Jeno melahirkan enam anak kucing yang kebetulan semuanya dilepas adopsi saat berusia empat bulan.


Tanpa embel-embel mahar.



Sejak awal aku tertarik dengan Jeno, karena dia sudah tampan paripurna dari lahir. Bulunya cokelat susu, ekor panjang, anaknya aktif dan sifatnya ramah. Bahkan sampai dia dewasa, dia jadi kucing yang paling ramah di antara ketiga saudaranya. Penakut sama orang baru, tapi selalu jadi yang pertama mendekat kalau ada tamu dan menyapa dengan hangat.


Dia juga yang paling care, mungkin karena si sulung kali ya. Dia nggak ragu memeriksa keadaan adik-adiknya jika salah satu dari mereka kena marah atau terjadi sesuatu.


Misalnya, kalau aku memutar suara bayi menangis atau suara anak kucing, Jeno yang akan pertama kali datang memeriksa untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Dia juga sangat ramah dengan anak-anak loh, beberapa kali keponakan atau teman yang membawa anaknya datang ke rumah dan main bareng mereka.


Hobinya naik jendela sambil melihat pemandangan di luar.


Cuma ya, dia itu pemalu dan penakut banget. Sama suara hair dryer aja takut. Dia punya sesi menyendiri sepertiku, nggak mau diganggu. Biasanya bakal milih tidur di atas lemari, dan jangan coba ganggu dia kalau sudah begini.


Aku baru sadar, betapa sedikitnya foto Jeno, karena dia memang lebih suka menyendiri dan pemalu.


Di antara saudaranya, Jeno yang paling lembut hatinya. Nggak bisa dibentak, nggak bisa denger suara kasar sedikit pun karena pasti akan langsung takut. Makanya aku paling hati-hati saat ngomong atau bersikap sama dia.


Aku beri dia nama Jeno, karena... uhm.


Orang ini.

 

 

Ucil – Si Paling Manja Sedunia



Kucing oyen dengan ekor bengkok yang selalu bergoyang setiap saat.


Anak ini sebenarnya tidak masuk dalam daftar adopsiku. Karena waktu itu aku hanya mau Jeno. Tapi pemiliknya bilang, mereka berdua ini tidak bisa dipisahkan. Dari enam saudara, mereka selalu berdua, nempel terus pokoknya. Dan Ucil ini berbeda dengan Jeno yang sehat, bersih dan tampan saat pertama kali aku lihat. Ucil tubuhnya kurus, perutnya buncit seperti cacingan. Sering mengalami kondisi yang disebut konjungtivitis sehingga butuh perhatian lebih. Dia juga sering flue waktu kecil dibanding si kakak.



Pemiliknya memohon untuk aku mempertimbangkan mengadopsi Ucil juga, karena takut jika dipisah dari kakaknya, dia nggak akan bisa bertahan. Awalnya aku enggan, karena pengen adopsi satu saja. Takut nggak bisa bertanggung jawab, waktu itu. Tapi dengan pertimbangan, kalau aku masih tidak mau merawatnya, Ucil akan diambil dua minggu kemudian setelah mereka sedikit lebih besar. Namun lama-lama aku sayang juga.


Ucil tumbuh lebih aktif dari kakaknya, suka eksplore dan lari-lari sampai manjat gorden. Tipikal oyen sih, ya.


Tapi dia nggak terlalu suka keluar rumah. Dia lebih mirip aku di sisi itu, sebagai anak rumahan.


Dia yang awalnya nggak diinginkan malah jadi anak paling manja, paling pintar ngrayu, suka nempel dan nyari perhatian. Bahkan cuma dia yang berani bangunin aku tidur. Entah Ucil menganggapku sebagai apa, tapi hobinya adalah berbaring di atasku dan memijit-mijit (hanya dia yang suka mijitin aku). Dia juga sering mengusir saudaranya yang sedang manja-manja di pangkuanku misalnya, seolah aku nggak boleh memperhatikan yang lain selain dia.


Jika Jeno pemalu, Ucil nggak peduli dengan yang lain selain aku. Dia tidak pernah mendekat dengan orang lain. Hanya memperbolehkan aku yang menyentuhnya. Maka jika ada orang lain di rumah, dia akan memilih untuk sembunyi, menjauh atau melakukan apa yang dia inginkan tanpa peduli dengan orang lain. Tipe cuek yang nggak peduli sekitar, sekali lagi dia seperti aku di sisi ini.


Dari segi karakter, Ucil ini lebih santai dibanding Jeno. Nggak baperan, nggak mudah tersinggunga atau takut. Tapi jangan coba bikin dia marah, kalau nggak mau dicuekin seharian penuh.


Bisa dibilang dia paling care sama aku. Dia selalu bisa merasakan saat aku nggak baik baik saja. Dia akan mendekat, mencoba menempel sampai aku merasa mendingan. Bahkan nggak jarang, dia mendekat buat memeriksa keadaanku yang lagi mewek jelek cuma gara-gara nonton film.



Ucil yang awalnya kurus, kecil, mungil... tiba-tiba membesar. Tubuhnya jadi lebih gendut dibandingkan kakaknya. Sehingga rasanya nama Ucil jadi nggak cocok buat dia ya. Kadang dia suka dipanggil Ucil Kudanil, Kebocil, Godzicil. Karena badannya yang membesar hehehe...


Karena obesitas, Ucil kini jadi pemalas, nggak seaktif waktu kecil dulu. Kerjaannya ya, makan-tidur.


Nama Ucil diberikan juga karena tubuhnya yang waktu itu kecil mungil dan aku bingung mau kasih nama apa, karena dia nggak pernah masuk dalam agenda hidupku. Tapi justru yang membuatku merasa... lebih hidup.

 


Jeno dan Ucil terbukti nggak bisa terpisahkan. Sejak kecil bahkan sampai besar, mereka suka tidur bersama. Meski dewasa ini, mereka lebih sering menghabiskan waktu sendiri sendiri. Mungkin karena sudah punya hobi masing-masing hahaha...


Tidak jarang, Ucil jadi nggak tenang waktu Jeno menghilang (anak ini suka menghilang, suka main, pernah nggak pulang selama 8 jam hingga terkunci di rumah tetangga). Saat itu, Ucil terlihat kalut bahkan nggak mau makan. Jadi keputusan tepat bukan, saat aku setuju untuk mengadopsi mereka berdua pada akhirnya.


Foto terakhir mereka, beberapa hari lalu. Masih suka tidur bareng.

 

Winter – Si Pinter dan Jahil yang Hobi Gangguin Orang



Awalnya aku merasa sudah cukup dengan Jeno dan Ucil. Tidak pernah terpikir menambah bos baru di rumah. Tapi saat menemukan anak ini di jalan, (kucing oyen dengan ekor buntung) hujan deras dan menangis sendirian, menjelang malam. Aku nggak bisa menghentikan diri sendiri buat bawa dia pulang ke rumah.


Apalagi dengan keadaan tubuh penuh dengan scabies.


Ya, bagian tubuhnya mengeras mulai dari telinga, kepala, sebagian wajah, kaki, ekor dan bagian bawah tubuhnya. Kondisinya benar-benar mengkhawatirkan. Aku nggak yakin berapa usia dia waktu aku temukan di pertengahan Juni. Yang jelas dia masih berusia di bawah empat minggu, karena saat itu aku bahkan belum bisa mengenali jenis kelaminnya. (Maka aku beri nama Winter karena saat itu bertepatan dengan fenomena bediding).


Aku bawa dia pulang, aku bersihkan dan obati. Tapi saat itu, belum muncul rasa sayang. Aku bahkan biarin dia tidur di garasi karena takut menularkan scabies ke Jeno dan Ucil. Pada keesokan harinya, aku coba keluarkan dia. Biarkan dia main di luar dan tidak terpikir akan merawatnya. Tapi saat menjelang sore, melihat dia meringkuk di depan rumah... Nggak tega juga rek. Jadi aku biarkan dia masuk lagi dan tidur di garasi. Mulai obati scabiesnya dan bersihkan tubuhnya dengan rutin.


Sampai di malam ketiga dia di rumah, nafsu makannya menghilang, Winter jatuh sakit, tiba-tiba sesak napas dan lesu. Aku tahu, mungkin itu gejala awal pneumonia. Jadi aku biarkan dia tidur di dalam rumah, karena di garasi dingin banget, udah pasti ya kan...


Aku siapkan tempat, aku hangatkan tubuhnya, aku temani sambil mengelusnya sepanjang malam waktu itu. Aku janji sama diri sendiri, kalau anak ini bertahan aku akan biarkan dia tinggal di rumah.


Untungnya dia kuat dan bertahan. Keesokan harinya, dia sudah mulai membaik. Mau makan meski cuma sedikit.


Dan benar saja, itu gejala pneumonia. Anak ini juga cacingan parah selain scabies di  sekujur tubuhnya. Tapi karena anaknya cukup bisa diajak kerja sama waktu diobati dan dibersihkan, scabiesnya pun sembuh dengan cepat. Winter bahkan paling pinter waktu minum obat dibandingkan kedua kakaknya. Dia bisa makan vitamin minyak ikan dan dikunyah seperti permen, sementara kedua kakaknya harus dicekokin dulu atau dicampur di makanan.



Secara karakter dia lebih cuek dan bermental baja dibanding Ucil. Bukan cuma nggak baperan, tapi juga tahan omelan. Dia nggak bakal takut, atau ngambek waktu diomelin tapi justru ngledek diam-diam.


Dia suka banget gangguin kedua kakaknya. Jahil dan sangat aktif lari-larian sepanjang rumah. Pokoknya kalau nggak gangguin Jeno, ya Ucil. Lalu beralih gangguin aku. Dia ini, super jahil deh.


Sama sepertku, Winter suka banget nonton. Terutama film horrror.


Anak ini yang bikin aku paling semangat beliin mainan, soalnya dia suka banget main. Berbeda sama Jeno dan Ucil yang cenderung lebih suka main bareng dibandingkan main dengan mainan yang aku belikan.


Sejujurnya, kehadiran Winter sempat enggak diterima sama Ucil. Ucil bahkan ngambek, kehilangan nafsu makan dua minggu penuh saat Winter masuk ke rumah. Ucil akan mengerang dan memberikan penolakan saat Winter mendekat. Tapi untungnya dia nggak melukai Winter ya, karena Ucil jauh dari kebanyakan oyen yang biasanya bar-bar.


Untungnya, setelah berjalan hampir satu bulan, Ucil bisa mulai menerima keberadaan Winter.


Foto pertama Winter bersamaUcil.



Oh ya, belakangan aku baru tahu kalau Winter ini cowok. Dan dia makin cakep dari hari ke hari.

 


Uhm... kira-kira begitu deh. Panjang banget. Ya, pokoknya senang bisa kembali lagi.

 

Pertama Kali Nyoba Bikin Riddle


Assalamualaikum....

 

Sudah lebih dari satu tahun lamanya blog ini terbengkalai, berhenti memposting cerita cerita fiksi yang biasanya idenya muncul secara absurd. Meskipun banyak sekali ide nulis yang bergentayangan di atas kepala, namun apalah daya saya cuma punya dua tangan yang tidak sanggup digunakan untuk menggapai semua keinginan.


Salah satunya untuk tetap aktif menulis fiksi di blog ini, biar tetap waras.


Seperti yang teman-teman tahu, (kalau teman-teman masih ada yang mampir ke blog ini - hiks...) saya memiliki dua blog dan pekerjaan sebagai Freelance 'Penulis Artikel' yang justru lebih sibuk ngurusin website orang daripada blog ini, sampai nggak punya waktu buat nulis fiksi.


Tapi tiba-tiba belakangan jadi tertarik banget buat nyoba bikin Riddle (sebenarnya sudah dari ribuan tahun lalu, cuma baru disempetin aja). Dan akhirnya jadilah beberapa judul Riddle yang berhasil tercipta tengah malam di kala ketidakwarasan menggerogoti jiwa hingga yang tersisa hanya asa untuk menatap jingga keesokan harinya.


FYI siklus hidup saya memang hanya eksis saat senja hingga pagi buta.


Seperti yang kita tahu, Riddle sendiri adalah Bahasa Inggris yang artinya teka teki, Riddle dibuat dengan tujuan hiburan dan biasanya memiliki banyak genre. Mulai dari humor hingga horror.


Namun sebagian besar Riddle yang kita kenal mengusung tema horror yang menyeramkan. Tidak hanya eksis dalam Bahasa Inggris, lambat laun banyak sekali Riddle berbahasa Indonesia yang bergentayangan di dunia maya.


Nah, kali ini saya akan mencoba membuat Riddle, dan karena masih belum memiliki pengalaman alias baru pertama kali mencoba, mohon maaf jika jawabannya mungkin mudah ditebak. Riddle yang saya buat memang memiliki tingkat kesulitan rendah atau easy. 


Sehingga jangan heran jika pertama kali membacanya, teman-teman bisa langsung menebak jawabannya.


Tak perlu berlama-lama lagi, mari simak Riddle pertama buatan saya ini ya. Nanti teman-teman bisa cek jawabannya di akhir cerita. 





Riddle

Judul: Kesepian


Aku tinggal bersama dengan Ayah, Ibu dan adik laki laki ku. Namun aku selalu kesepian sebab mereka tidak pernah mempedulikanku. Mereka marah dan membenciku. Setiap hari mereka mengacuhkanku, tidak ada yang mau bicara denganku, bahkan ketika aku bertanya pada mereka.


Ibu sepanjang hari menghabiskan waktunya di tempat tidur, sedangkan Ayah hanya duduk saja sambil nonton film kartun.


Hanya tersisa adik laki laki yang bisa diajak bermain, namun dikarenakan sesuatu dia tidak bisa aku ajak berbicara.




Nah, sudah mulai bisa menbak jawabannya?


Sebelum teman-teman memeriksa jawaban yang benar di bawah ini, sekadar mengingatkan dulu saya juga sempat membuat Riddle namun dibalut dengan gaya Flashfiction biar tidak terlalu singkat.


Baca Selengkapnya, jika teman-teman penasaran  Di Balik Menghilangnya Sari.


Pada Riddle tersebut sengaja saya tidak memberitahukan jawabannya, namun rupanya ada beberapa orang yang berhasil mengetahui jawabannya dengan tepat.


Ya, jawabannya adalah Ana dan Tunangan Sari lah yang sengaja menenggelamkan Sari ke salah satu Pantai yang ada di Selatan Pulau Jawa, agar mereka bisa bersama. Lalu menjadikan mitos setempat mengenai Ratu Pantai Selatan sebagai salah satu alibi untuk menutupi kejahatan yang telah mereka perbuat.


Biar tidak semakin penasaran, berikut ini adalah jawaban dari Riddle: Kesepian, cek jawaban teman-teman, benar nggak ya?





Jawaban :

 

Ibu dan Ayahnya telah meninggal dan kini hanya berupa jasad. Ibu hanya berbaring di tempat tidur sepanjang hari, sedangkan Ayah nonton film kartun, bapak bapak mana yang masih suka nonton film kartun di tv, kecuali dia tidak bisa mengganti saluran tv nya alias sudah meninggal.

 

Si aku adalah Psikopat gila yang sudah membunuh ibu dan ayahnya. 

 

Kini dia menyekap adik laki laki nya, menyumpal mulutnya untuk disiksa demi kesenangannya.


Bukan Senja atau Lelucon Semata



Sekian lama aku hanya fokus menunggu angin, sejak pagi hingga siang menjelang angin itu tak kunjung pulang

Sampai semburat kekuningan muncul malu malu di atas kepala

Di bawah sini aku mengutuk diri sepanjang hari

Tuhan… kenapa tidak ada yang tinggal

Kenapa mereka semua serupa senja yang hanya sementara

Lalu pergi meninggalkan gelap dan aku

 


Ya, aku yang di setiap masa hanya mengingat satu nama

Hingga lupa bahwa bumi terus berputar mengelilingi matahari dan bulan masih setia bersama bumi

Sedangkan bumi tetap berada di porosnya hingga akhir masa

Di poros ini lah aku menemukan jejak jejak yang terlupakan

Hingga aku tidak ingat kapan kamu mulai datang


 

Bukan angin, bukan senja bukan pula lelucon semata

Kamu satu paket lengkap yang dikirimkan oleh Tuhan di waktu yang tepat


 

Menjadi satu hadiah terindah di bulan empat dan hari yang dipenuhi dengan berita hoax

Tapi kamu nyata

Kamu ada

Dan kamu lah Imam yang ku tunggu sejak puluhan windu yang lalu


 

Banyuwangi, 1 April 2020



The Second Coming

<< Part 6 - Part 7



Tak terhitung berapa musim sudah aku menunggu angin ku kembali sembari mengenangnya di tengah kering dan tandusnya ujung hati. Masih beriman padanya meski tahu angin tidak akan pernah kembali ke tempat pertama kali dia berembus. Ya, sudah kodratnya begitu.

Tapi entah kenapa aku seolah terhenti dan menunggu di tengah persimpangan. Menunggu entah apa yang aku tunggu hingga kini meski ku rasakan samar – samar kehadirannya di ruang dalam tempat dia biasa bersemanyam.

“Biar waktu yang sembuhkan luka,” ya memang benar itu adanya. Oleh sebab itu meski masih ku rasakan kehadirannya, meski mungkin sulit untuk tergantikan dan butuh ribuan musim untuk menghapus jejaknya tertutup butiran debu yang dibawa angin di musim kering.


Aku sudah siap.

Aku sudah berani menantang hari dan menatap matahari.

Aku sudah siap menanggalkannya rasa dan iman yang sempat tertanam sementara.

Hingga dengan yakin melabelinya sebagai kenangan yang akan aku tinggalkan.


21 perjalanan baru menunggu.




Banyuwangi, 18 November 2019